Kamis, 10 November 2011

Undang-undang ketenagakerjaan NOMOR 13 Tahun 2003

Banyak tenaga kerja Di INDONESIA di berlakukan semena-mena oleh pemilik atau atasan mereka, Sistem kontrak yang tidak jelas, Gaji yang tidak sesuai kebutuhan hidup manusia, bahkan sekarang ada yang mengeluh karena KERJA RODI gaji kuli mungkin gedean kuli gajinya....tapi itu semua nyata di Negeri ini...Dan ini saya share UU ketenagakerjaan agar beberapa perusahaan yang semena-mena tadi sadar kalau mereka salah...mereka menyengsarakan orang yang sudah sengsara...menzholimi orang kecil....kalau seperti ini siapa yang bertanggung jawab????
Orang kaya selalu menang sedangkan orang miskin selalu di jadikan budak mereka??? ini UU nya
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja
mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai
pelaku dan tujuan pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga
kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan
perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk
menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan
kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun
untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya
dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
e. bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan
ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a,
b, c, d, dan e perlu membentuk Undang-undang tentang
Ketenagakerjaan.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal
33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada
waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Perusahaan adalah :
6.
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan
7.
secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan,
strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang
berkesinambungan.
Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang
8.
berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti,
nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
9.
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan
secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara
langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang
lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusa-
haan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan
tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh
pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi
kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud
bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang
anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah
tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur
pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah
tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha
yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan
antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh
yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan
secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk
menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh
dan pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau
keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi
produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan
melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan;
dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha.
BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN
Pasal 7
(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan
dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang
antara lain meliputi :
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari
semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan.
Pasal 10
(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan
dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu
pada standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
melalui pelatihan kerja.
Pasal 12
Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan
(1)
kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
(2)
ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur
dengan Keputusan Menteri.
Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan
(3)
kerja sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 13
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau
lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
Pasal 14
Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau
(1)
perorangan.
Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
(2)
memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah
(3)
mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja
(4)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.
Pasal 16
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan
kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga
akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen
terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 17
(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota
dapat menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja,
apabila di dalam pelaksanaannya ternyata :
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9; dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan
berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya
dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi
dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan
sanksi penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan
program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara
pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan
izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga
pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui sertifikasi kompetensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula
diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi
profesi yang independen.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan
memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang
cacat yang bersangkutan.
Pasal 20
(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan
ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional yang
merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja
nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.
Pasal 22
(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta
dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-
kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta
jangka waktu pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta
berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat
penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar
wilayah Indonesia.
Pasal 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara
pemagangan harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk
melaksanakan ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan
di luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 27
(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan program pemagangan.
Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri
(2)
harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.
Pasal 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta
melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga
koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 29
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan
kerja dan pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan
relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja dan
produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan
melalui pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi
kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.
Pasal 30
(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional.
Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring
(2)
kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor
maupun daerah.
Pembentukan, keanggotan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional
(3)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam
atau di luar negeri.
Pasal 32
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif,
serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada
jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan
kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan
perlindungan hukum.
Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
(3)
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.
Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari :
a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.
Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Pasal 35
(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja
yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memberikan perlindungan sejak rekruitmen sampai penempatan tenaga kerja.
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan
tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan,
keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Pasal 36
(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-
unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya
penempatan tenaga kerja.
Pasal 37
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(1) terdiri dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki
izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak
langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga
kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari
pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan
kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan
untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu
membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang
dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.
Pasal 40
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan
kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi
sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri,
penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan
pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong
terciptanya perluasan kesempatan kerja.
Pasal 41
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan
kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk
badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan
koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam
pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 42
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku
bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai
pegawai diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan
kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya
habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing
lainnya.
Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi
pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan
standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 45
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping
tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari
tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan
yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja
asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.
Pasal 46
(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia
dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri
Pasal 47
(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu
di lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga
kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
Pasal 49
Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan
dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
Pasal 51
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian
kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Pasal 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/
buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e
dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta
pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan
para pihak.
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan
bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian
kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing,
apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang
berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi
hukum.
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu:
pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
a.
pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
b.
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
pekerjaan yang bersifat musiman; atau
c.
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
d.
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu
tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan
kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal 61
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau bera-
lihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi
tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris
pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan
pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja
bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya
sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian
kerja.
Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha
wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.
Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang- kurangnya
(2)
memuat keterangan:
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan
hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan
atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan ayat (3), tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan
perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi
pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud
pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain
yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara
tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf
b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih
menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN
KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Paragraf 1
Penyandang Cacat
Pasal 67
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan
perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 2
Anak
Pasal 68
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak
berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan bagi
anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 70
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat
belas) tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan
dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memenuhi syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental,
sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat
kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.
Pasal 74
(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak
untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak
untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 75
Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di
(1)
luar hubungan kerja.
Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
(2)
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Perempuan
Pasal 76
Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
(1)
dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00.
Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut
(2)
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d.
(3)
pukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
(4)
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul
05.00.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
(5)
Keputusan Menteri.
Paragraf 4
Waktu Kerja
Pasal 77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1
(satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk
jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara
terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada
tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh
yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada
perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak
lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya
berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya
berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh
untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal 81
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan
kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kandungan atau bidan.
Pasal 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat
upah penuh.
Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur
resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan
secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada
hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja
lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja
yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengupahan
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
c.
upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
d.
upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
e.
bentuk dan cara pembayaran upah;
f.
denda dan potongan upah;
g.
hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
h.
struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
i.
upah untuk pembayaran pesangon; dan
j.
upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
k.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf
a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat
terdiri atas :
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada
pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur
dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal
demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan,
jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 93
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib
membayar upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa
haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,
mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran
kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau
mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan
kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah
yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun
halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas
persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari
upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah;
dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah
sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia,
dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1
(satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
Pasal 94
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka
besarnya upah pokok sedikit–dikitnya 75 % ( tujuh puluh lima perseratus ) dari jumlah
upah pokok dan tunjangan tetap.
Pasal 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau
kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase
tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh,
dalam pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Pasal 96
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak timbulnya hak.
Pasal 97
Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup
layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88,
penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan
yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem
pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan
tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota
diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara
pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan
Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan
Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial
tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha
wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilak-
sanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan
perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh
dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan
usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi
menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan
melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan
aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta
ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi
pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan
usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh
secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. lembaga kerja sama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat
pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta
mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha
Pasal 105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit
Pasal 106
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau
lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi
sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di
perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh
pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga
kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit
Pasal 107
(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat
kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari:
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan
Pasal 108
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.
Pasal 110
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari
wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh, wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib
diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/serikat
buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja
bersama, maka pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap
berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.
Pasal 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111
ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah
mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk
harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan
peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya
dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah
peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan
diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan secara musyawarah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat
secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan
bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut
dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak
mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh,
maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila
memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan
maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali
permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha
setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya
pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2).
Pasal 120
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan
pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus)
dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang
keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan
oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat
pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.
Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang
masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis
antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling
cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang
berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai
kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku
untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan
yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja
bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
Pasal 126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan
ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian
kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama
kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.
Pasal 127
(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian
kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
perjanjian kerja bersama.
Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan
perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat
pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian
kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada
dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada
dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 130
(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal
119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu
berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan
atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat
pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat
pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan
membentuk tim perunding secara proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh
yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau
pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan
Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 131
(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan
kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing
perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama
yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan
pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang
mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai
perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi
perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.
Pasal 132
(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian
kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan,
dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 134
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha,
pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan.
Pasal 135
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan
hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah.
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial
Pasal 136
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk
mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur
dengan undang-undang.
Paragraf 2
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan
dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja
dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris
serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai
koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat
mengambil tindakan sementara dengan cara:
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses
produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi
perusahaan.
Pasal 141
(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan
mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda
terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan
timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para
pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh
para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat
diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
Pasal 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 143
(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan
damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang:
mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar
a.
perusahaan; atau
memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada
b.
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah
melakukan mogok kerja.
Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan
tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh
berhak mendapatkan upah.
Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)
Pasal 146
(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai
akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai
tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Pasal 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan
yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan
keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat
pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas
bumi, serta kereta api.
Pasal 148
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum
penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock
out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh
pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 149
(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat
pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari,
tanggal, dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau
dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak
diperlukan apabila:
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif
yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi
pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau
tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang
menjadi dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan
oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud
untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut
tidak menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya;
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan
f.
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha,
atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
i.
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau
j.
sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka
waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam
hal:
pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan
a.
secara tertulis sebelumnya;
pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
b.
kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pertama kali;
pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian
c.
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-
undangan; atau
pekerja/buruh meninggal dunia.
d.
Pasal 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan
segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang
sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar
upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 156
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar
(1)
uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang seharusnya diterima.
Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
(2)
sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima)
bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)
bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(3)
ditetapkan sebagai berikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (duabelas) tahun,
4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas)
tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (duapuluh
satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (duapuluh
empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam
(4)
ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
(limabelas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa
(5)
kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang
tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang
diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus
dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih
antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian,
maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan
pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan
ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau
kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan
pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata
12 (dua belas) bulan terakhir.
)
Pasal 1
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai
berikut:
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
1)
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi RI No.012/PUU-I/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja
atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha
dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung
dengan bukti sebagai berikut:
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian
hak sebagai dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan
fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain
uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan
uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
)
Pasal 2
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
)
Pasal 3
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha maka pengusaha tidak wajib
membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh
yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari
upah;
2)
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi RI No.012/PUU-I/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3)
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi RI No.012/PUU-I/2003, sepanjang mengenai anak kalimat ”.......... bukan
atas pengaduan pengusaha ........” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari
b.
upah;
untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari
c.
upah;
untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh
d.
perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6
(enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak
yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana
mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5)
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara
berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku
untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
Pasal 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan
fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain
menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan
uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus memenuhi syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan dan pekerja/ buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156
ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan
pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal
156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara
terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur),
dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan
dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan
publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-
turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan
melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli
warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan
perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu)
kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan
pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha,
maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam
program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil
daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh
pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program
pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka
yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang
premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat
diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka
pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua
yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 168
(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil
oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya
karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh
yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 169
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan sebagai berikut:
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3),
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (3).
Pasal 170
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat
(3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal
169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang
bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka
pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan
pemutusan hubungan kerjanya.
Pasal 172
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12
(dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang
pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
BAB XIII
PEMBINAAN
Pasal 173
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang
berhubungan dengan ketenagakerjaan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikutsertakan
organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan
secara terpadu dan terkoordinasi.
Pasal 174
Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama
internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 175
(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang
telah berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk
piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan
yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176
ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 179
Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178
(1)
pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan
laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang
pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik
pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana
b.
di bidang ketenagakerjaan;
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
c.
dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara
d.
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana
e.
di bidang ketenagakerjaan;
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
f.
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan
g.
tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat
(5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat
(1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
)
Pasal 4
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2),
Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan
Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1),
Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda
paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban
pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau
pekerja/buruh.
4)
Sepanjang mengenai anak kalimat “....Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) ....” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 190
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas
pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal
48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka :
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di
Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja
Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang Muda Di
Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur
Kegiatan-kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak
(Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
7. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk
Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara
Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tamba-
han Lembaran Negara Nomor 598a);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran
Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan
dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
12. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4042).
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 193
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
I. UMUM
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan
masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi
hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta
pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi
pengembangan dunia usaha.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan.
Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan
sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha,
pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh
dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya manusia,
peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan
kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan
industrial.
Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan
harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap hak
asasi manusia sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR NO. XVII/MPR/1998
harus diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, ketetapan MPR ini merupakan
tonggak utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakkan
demokrasi di tempat kerja diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari
seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara
Indonesia yang dicita-citakan.
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku
selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan
pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan
tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan
kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang.
Peraturan perundang-undangan tersebut adalah :
- Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di
Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1887 No. 8);
- Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak
Dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
- Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan Orang Muda Di
Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
- Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-
kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
- Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad tahun 1939 Nomor 545);
- Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak
(Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
undang Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara tahun 1951 Nomor 2);
- Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara
Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 598 a);
- Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran
Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
- Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan
dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
- Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);
- Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
- Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998
Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan
- Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4042).
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas dipandang perlu untuk dicabut dan
diganti dengan Undang-undang yang baru. Ketentuan-ketentuan yang masih relevan
dari peraturan perundang-undangan yang lama ditampung dalam Undang-undang
ini. Peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut masih tetap
berlaku sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti.
Undang-undang ini disamping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai lagi
dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung
perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia
dengan dimulainya era reformasi tahun 1998.
Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi manusia
di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International Labour
Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu :
Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan No. 98);
-
Diskriminasi (Konvensi ILO No. 100, dan No. 111);
-
Kerja Paksa (Konvensi ILO No. 29, dan No. 105); dan
-
Perlindungan Anak (Konvensi ILO No. 138 dan No. 182 ).
-
Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di
tempat kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar
tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka
Undang-undang ketenagakerjaan yang disusun ini harus pula mencerminkan
ketaatan dan penghargaan pada ketujuh prinsip dasar tersebut.
Undang-undang ini antara lain memuat:
- Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;
- Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
- Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dan
pekerja/buruh;
- Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan
keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja
dan produktivitas perusahaan.
- Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja
secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah
dan masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja;
- Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang
diperlukan;
- Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis, dan
berkeadilan antar para pelaku proses produksi;
- Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk perjanjian
kerja bersama, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja sama tripartit,
pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial;
- Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar
pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan,
dan kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak,
dan penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan
jaminan sosial tenaga kerja;
- Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan
dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual.
Pasal 3
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas
pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil
dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan
keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan
pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan
secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung.
Pasal 4
Huruf a
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu
kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-
luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan
pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi
secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap
menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
Huruf b
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan
memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi
seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu
diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 5
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan
tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para
penyandang cacat.
Pasal 6
Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
Pasal 7
Ayat (1)
Perencanaan tenaga kerja yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah
dilakukan melalui pendekatan perencanaan tenaga kerja nasional, daerah,
dan sektoral.
Ayat (2)
Huruf a.
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja makro adalah
proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang
memuat pendayagunaan tenaga kerja secara optimal, dan produktif
guna mendukung pertumbuhan ekonomi atau sosial, baik secara
nasional, daerah, maupun sektoral sehingga dapat membuka
kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan produktivitas kerja dan
meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh.
Huruf b
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja mikro adalah proses
penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu
instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka
meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan
produktif untuk mendukung pencapaian kinerja yang tinggi pada
instansi atau perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Informasi ketenagakerjaan dikumpulkan dan diolah sesuai dengan maksud
disusunnya perencanaan tenaga kerja nasional, perencanaan tenaga kerja
daerah provinsi atau kabupaten/kota.
Ayat (2)
Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, partisipasi swasta diharapkan
dapat memberikan informasi mengenai ketenagakerjaan. Pengertian swasta
mencakup perusahaan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat
di pusat, provinsi atau kabupaten/kota.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal ini adalah
kesejahteraan bagi tenaga kerja yang diperoleh karena terpenuhinya kompetensi
kerja melalui pelatihan kerja.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan standar kompetensi kerja dilakukan oleh Menteri dengan
mengikutsertakan sektor terkait.
Ayat (3)
Jenjang pelatihan kerja pada umumnya terdiri atas tingkat dasar, trampil, dan
ahli.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Pengguna tenaga kerja terampil adalah pengusaha, oleh karena itu
pengusaha bertanggung jawab mengadakan pelatihan kerja untuk
meningkatkan kompetensi pekerjanya.
Ayat (2)
Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan bagi
pengusaha karena perusahaan yang akan memperoleh manfaat hasil
kompetensi pekerja/buruh.
Ayat (3)
Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta kesempatan
yang ada di perusahaan agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan
perusahaan.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelatihan kerja swasta juga termasuk pelatihan kerja
perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pendaftaran kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah dimaksudkan untuk mendapatkan informasi sehingga hasil
pelatihan, sarana dan prasarana pelatihan dapat berdayaguna dan
berhasilguna secara optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang
dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang
mengacu kepada standar kompetensi nasional dan/atau internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Sistem pelatihan kerja nasional adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai
unsur pelatihan kerja yang antara lain meliputi peserta, biaya, sarana, dan
prasarana, tenaga kepelatihan, program dan metode, serta lulusan. Dengan
adanya sistem pelatihan kerja nasional, semua unsur dan sumber daya
pelatihan kerja nasional yang tersebar di instansi pemerintah, swasta, dan
perusahaan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hak peserta pemagangan antara lain memperoleh uang saku dan/atau uang
transpor, memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh sertifikat
apabila lulus di akhir program.
Hak pengusaha antara lain berhak atas hasil kerja/jasa peserta pemagangan,
merekrut pemagang sebagai pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan.
Kewajiban peserta pemagangan antara lain menaati perjanjian pemagangan,
mengikuti tata tertib program pemagangan, dan mengikuti tata tertib
perusahaan.
Adapun kewajiban pengusaha antara lain menyediakan uang saku dan/atau
uang transpor bagi peserta pemagangan, menyediakan fasilitas pelatihan,
menyediakan instruktur, dan perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja.
Jangka waktu pemagangan bervariasi sesuai dengan jangka waktu yang
diperlukan untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan dalam program
pelatihan pemagangan.
Ayat (3)
Dengan status sebagai pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan,
maka berhak atas segala hal yang diatur dalam peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal 23
Sertifikasi dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang dibentuk dan/atau
diakreditasi oleh pemerintah bila programnya bersifat umum, atau dilakukan oleh
perusahaan yang bersangkutan bila programnya bersifat khusus.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kepentingan perusahaan dalam ayat ini adalah agar
terjamin tersedianya tenaga terampil dan ahli pada tingkat kompetensi
tertentu seperti juru las spesialis dalam air.
Yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat misalnya untuk membuka
kesempatan bagi masyarakat memanfaatkan industri yang bersifat spesifik
seperti teknologi budidaya tanaman dengan kultur jaringan.
Yang dimaksud dengan kepentingan negara misalnya untuk menghemat
devisa negara, maka perusahaan diharuskan melaksanakan program
pemagangan seperti keahlian membuat alat-alat pertanian modern.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
- Yang dimaksud dengan terbuka adalah pemberian informasi kepada
pencari kerja secara jelas antara lain jenis pekerjaan, besarnya upah, dan
jam kerja. Hal ini diperlukan untuk melindungi pekerja/buruh serta untuk
menghindari terjadinya perselisihan setelah tenaga kerja ditempatkan.
- Yang dimaksud dengan bebas adalah pencari kerja bebas memilih jenis
pekerjaan dan pemberi kerja bebas memilih tenaga kerja, sehingga tidak
dibenarkan pencari kerja dipaksa untuk menerima suatu pekerjaan dan
pemberi kerja tidak dibenarkan dipaksa untuk menerima tenaga kerja yang
ditawarkan.
Yang dimaksud dengan obyektif adalah pemberi kerja agar menawarkan
pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuannya
dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan
kepentingan umum dengan tidak memihak kepada kepentingan pihak
tertentu.
- Yang dimaksud dengan adil dan setara adalah penempatan tenaga kerja
dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga kerja dan tidak didasarkan atas
ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, dan aliran politik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional dengan
memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh
tenaga kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula
pemerataan kesempatan kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan
tenaga kerja di seluruh sektor dan daerah.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Sebelum undang-undang mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri
diundangkan maka segala peraturan perundangan yang mengatur penempatan
tenaga kerja di luar negeri tetap berlaku.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud pemberi kerja adalah pemberi kerja di dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a.
Penetapan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah ditentukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b.
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Karena upaya perluasan kesempatan kerja mencakup lintas sektoral, maka harus
disusun kebijakan nasional di semua sektor yang dapat menyerap tenaga kerja
secara optimal. Agar kebijakan nasional tersebut dapat dilaksanakan dengan baik,
maka pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasinya secara
terkoordinasi.
Pasal 42
Ayat (1)
Perlunya pemberian izin penggunaan tenaga kerja warga negara asing
dimaksudkan agar penggunaan tenaga kerja warga negara asing
dilaksanakan secara selektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja
Indonesia secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Rencana penggunaan tenaga kerja warga negara asing merupakan
persyaratan untuk mendapatkan izin kerja (IKTA).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan badan internasional dalam ayat ini adalah badan-
badan internasional yang tidak mencari keuntungan seperti lembaga yang
bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara lain ILO,
WHO, atau UNICEF.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah kualifikasi yang harus
dimiliki oleh tenaga kerja warga negara asing antara lain pengetahuan,
keahlian, keterampilan di bidang tertentu, dan pemahaman budaya Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Huruf a.
Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara otomatis
menggantikan atau menduduki jabatan tenaga kerja asing yang
didampinginya. Pendampingan tersebut lebih dititikberatkan pada alih
teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja pendamping tersebut dapat
memiliki kemampuan sehingga pada waktunya diharapkan dapat
mengganti tenaga kerja asing yang didampinginya.
Huruf b.
Pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut dapat
dilaksanakan baik di dalam negeri maupun dengan mengirimkan tenaga
kerja Indonesia untuk berlatih di luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang
upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat
kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara
lisan.
Ayat (2)
Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain perjanjian kerja
waktu tertentu, antarkerja antardaerah, antarkerja antarnegara, dan
perjanjian kerja laut.
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak
yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian.
Bagi tenaga kerja anak, yang menandatangani perjanjian adalah orang
tua atau walinya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan pada ayat ini adalah
apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama, maka isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak
boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama
di perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah
pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi
waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu
perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung
cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan
yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan
merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau
pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka
pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk
pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja.
Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan
kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan
dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam
perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, maka ketentuan masa
percobaan kerja dianggap tidak ada.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial,
atau gangguan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama adalah hak-hak yang harus
diberikan yang lebih baik dan menguntungkan pekerja/buruh yang
bersangkutan.
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha
hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja
waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang
berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.
Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service),
usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga
pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di
pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan
pekerja/buruh.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun
penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan
pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama atas
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya di perusahaan
pengguna jasa pekerja/buruh.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya penyediaan
aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan
dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi anak agar
pengembangan bakat dan minat anak yang pada umumnya muncul pada usia
ini tidak terhambat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja dimaksudkan untuk
menghapuskan atau mengurangi anak yang bekerja di luar hubungan kerja.
Upaya tersebut harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi
dengan instansi terkait.
Anak yang bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak penyemir sepatu atau
anak penjual koran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Yang bertanggung jawab atas pelanggaran ayat ini adalah pengusaha.
Apabila pekerja/buruh perempuan yang dimaksud dalam ayat ini
dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00 maka yang bertanggung jawab
atas pelanggaran tersebut adalah pengusaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini misalnya
pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh,
penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan
karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan
memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat
kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat
dihindari sehingga pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b.
Cukup jelas.
Huruf c.
Cukup jelas.
Huruf d.
Selama menjalankan istirahat panjang, pekerja/buruh diberi uang
kompensasi hak istirahat tahunan tahun kedelapan sebesar 1⁄2
(setengah) bulan gaji dan bagi perusahaan yang telah memberlakukan
istirahat panjang yang lebih baik dari ketentuan undang-undang ini,
maka tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 80
Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk
melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan
ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 83
Yang dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini adalah lamanya
waktu yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan untuk menyusui bayinya
dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuan perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melayani kepentingan dan
kesejahteraan umum. Di samping itu untuk pekerjaan yang karena sifat dan
jenis pekerjaannya tidak memungkinkan pekerjaan itu dihentikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan
jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh
dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian
bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang
meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab,
prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan
penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan
dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan
kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil
pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh
dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman,
sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha
beserta pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia
untuk kabupaten/kota, provinsi, beberapa provinsi atau nasional dan tidak
boleh lebih rendah dari upah minimum regional daerah yang
bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak
dalam ayat ini ialah setiap penetapan upah minimum harus disesuaikan dengan
tahapan pencapaian perbandingan upah minimum dengan kebutuhan hidup
layak yang besarannya ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara bertahap karena
kebutuhan hidup layak tersebut merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup
minimum yang sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak
mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan
melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu.
Apabila penangguhan tersebut berakhir maka perusahaan yang
bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu
tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang
berlaku pada waktu diberikan penangguhan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman
penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta
untuk mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di
perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi
kerja, perkembangan, dan kemampuan perusahaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua
pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat
melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud pekerja/buruh sakit ialah sakit menurut keterangan
dokter.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban terhadap negara adalah
melaksanakan kewajiban negara yang telah diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
Pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang menjalankan kewajiban
terhadap negara dilaksanakan apabila:
a. negara tidak melakukan pembayaran; atau
b. negara membayar kurang dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh,
dalam hal ini maka pengusaha wajib membayar kekurangannya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut
agamanya adalah melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya
yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 94
Yang dimaksud dengan tunjangan tetap dalam pasal ini adalah pembayaran
kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan
kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh
harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan
keluarga berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh,
fasilitas beribadah, fasilitas olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan, dan
fasilitas rekreasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan usaha-usaha produktif di perusahaan adalah
kegiatan yang bersifat ekonomis yang menghasilkan pendapatan di luar upah
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Ayat (1)
Kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota
serikat pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Ayat (1)
Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh kurang dari 50 (lima puluh)
orang, komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara individual
dengan baik dan efektif. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh 50
(limapuluh) orang atau lebih, komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan
melalui sistem perwakilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja/buruh yang belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan
tidak boleh lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dan apabila ternyata bertentangan, maka yang
berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Pemberitahuan dilakukan dengan cara membagikan salinan peraturan perusahaan
kepada setiap pekerja/buruh, menempelkan di tempat yang mudah dibaca oleh
para pekerja/buruh, atau memberikan penjelasan langsung kepada pekerja/buruh.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembuatan perjanjian kerja bersama harus dilandasi dengan itikad baik, yang
berarti harus ada kejujuran dan keterbukaan para pihak serta
kesukarelaan/kesadaran yang artinya tanpa ada tekanan dari satu pihak
terhadap pihak lain.
Ayat (3)
Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat dalam bahasa Indonesia dan
diterjemahkan dalam bahasa lain, apabila terjadi perbedaan penafsiran, maka
yang berlaku perjanjian kerja bersama yang menggunakan bahasa Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 117
Penyelesaian melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dapat dilakukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku adalah kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja
bersama tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak
tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau
perundingan mengalami jalan buntu.
Yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak menggangu keamanan dan
ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik
perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau
perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia
adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta
api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu
lintas laut.
Yang dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan
yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas.
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b.
Tempat mogok kerja adalah tempat-tempat yang ditentukan oleh
penanggung jawab pemogokan yang tidak menghalangi pekerja/buruh
lain untuk bekerja.
Huruf c.
Cukup jelas.
Huruf d.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan menghalang-halangi dalam ayat ini antara lain
dengan cara :
a. menjatuhkan hukuman;
b. mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau
c. melakukan mutasi yang merugikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Yang dimaksud dengan sungguh-sungguh melanggar hak normatif adalah
pengusaha secara nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya sebagaimana
dimaksud dan/atau ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan,
meskipun sudah ditetapkan dan diperintahkan oleh pejabat yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pembayaran upah pekerja/buruh yang mogok dalam pasal ini tidak menghilangkan
ketentuan pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran
ketentuan normatif.
Pasal 146
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah
atau sebagai tindakan balasan terhadap mogok yang sah atas tuntutan
normatif, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas
Pasal 150
Cukup jelas
Pasal 151
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah kegiatan-
kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya
pemutusan hubungan kerja antara lain pengaturan waktu kerja,
penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan
kepada pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Ayat (1)
Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah istri/suami, anak
atau orang yang syah menjadi tanggungan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 161
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau
tidak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat
peringatan pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila
pekerja/buruh melakukan kembali pelanggaran ketentuan dalam perjanjian
kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama masih dalam
tenggang waktu 6 (enam) bulan maka pengusaha dapat menerbitkan surat
peringatan kedua, yang juga mempunyai jangka waktu berlaku selama 6
(enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua.
Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
pengusaha dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku
selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan ketiga. Apabila
dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan
pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja.
Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat
peringatan pertama sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan melakukan kembali pelanggaran perjanjian kerja atau
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka surat peringatan
yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai peringatan
pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga.
Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama
dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama
dan terakhir. Apabila pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian kerja
atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang
waktu masa berlakunya peringatan pertama dan terakhir dimaksud,
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.
Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik
pekerja/buruh agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu
6 (enam) bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk
melakukan penilaian terhadap kinerja pekerja/buruh yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh dari ayat ini adalah :
- Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan pensiun
menurut program pensiun adalah Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) serta
dalam pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang
ditanggung oleh pengusaha 60% (enam puluh perseratus) dan oleh
pekerja/buruh 40% (empat puluh perseratus), maka :
Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha adalah :
-
sebesar 60% x Rp6.000.000,00 = Rp3.600.000,00
Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh adalah
-
sebesar 40% X Rp 6000.000,00 = Rp 2.400.000,00
Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar
-
Rp10.000.000,00 dikurangi Rp3.600.000,00 = Rp.6.400.000,00
Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena
-
pensiun tersebut adalah :
• Rp3.600.000,00(santunan dari penyelenggara program pensiun yang
preminya 60% dibayar oleh pengusaha)
• Rp6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di
bayar oleh pengusaha);
• Rp2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang
preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh);
_____________________________________________________ +
Jumlah = Rp12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah);
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 168
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah
pekerja/buruh telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat
pekerja/buruh sebagaimana tercatat di perusahaan berdasarkan laporan
pekerja/buruh. Tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua
paling sedikit 3 (tiga) hari kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Tenggang waktu 1 tahun dianggap merupakan waktu yang cukup layak untuk
mengajukan gugatan.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat ini adalah kegiatan yang
dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil
yang lebih baik untuk meningkatkan dan mengembangkan semua
kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang melakukan koordinasi dalam ayat ini adalah instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Yang dimaksudkan dengan independen dalam pasal ini adalah pegawai
pengawas dalam mengambil keputusan tidak terpengaruh oleh pihak lain.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Yang dimaksud peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan dalam
undang-undang ini adalah peraturan pelaksanaan dari berbagai undang-undang
di bidang ketenagakerjaan baik yang sudah dicabut maupun yang masih berlaku.
Dalam hal peraturan pelaksanaan belum dicabut atau diganti berdasarkan
undang-undang ini, agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka dalam Pasal ini
tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Demikian pula, apabila terjadi suatu peristiwa atau kasus ketenagakerjaan
sebelum undang-undang ini berlaku dan masih dalam proses penyelesaian pada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka sesuai dengan
azas legalitas, terhadap peristiwa atau kasus ketenagakerjaan tersebut
diselesaikan berdasarkan peraturan pelaksanaan yang ada sebelum
ditetapkannya undang-undang ini.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4279
Selengkapnya...